Manusia dalam kehidupan selalu berkaitan
dengan nilai. Manusia senantiasa dinilai dan menilai.
Cabang filsafat yang membicarakan nilai disebut dengan aksiologi (filsafat
nilai). Istilah nilai dipakai untuk menunjukan kata benda abstrak yang
artinya,”keberhargaan”(worth) atau kebaikan (goodness).
Nilai pada hakekatnya adalah sifat atau
kualitas yang melekat pada suatu obyak. Jadi bukan obyek itu yang dikatakan
nilai tetapi suatu itu mengandung nilai yang artinya ada sifat atau kualitas
yang melekat suatu itu. Misalnya, pemandangan itu indah, perbuatan itu
bermoral. Indah dan susila adalah sifat atau suatu yang melekat pada
pemandangan atau tindakan. Dengan demikian nilai itu sebenarnya suatu kenyataan
yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainya. adanya nilai itu karen
adanya kenyataan lain sebagai pembawa nilai.
Menilai itu berarti menimbang, artinya
suatu kegiataan manusia untuk menghubungkan suatu dengan sesuatu yang lain.
kemudian diambil sebuah keputusan, keputusan itu merupakan keputusan salah,
baik, buruk, indah atau jelek suci atau dosa. Nilai juga mengandung cita-cita,
harapan-harapan ,dambaan dan keharusan. Berbicara nilai berarti kita berbicara
tentang hal yang edeal, das “Sollen”, bukan das “sain”. Nilai berkaitan dengan
normatif bukan kognitif atau berada dalam dunia edeal bukan yang real. Meskipun
demikian keduanya berhubungan atau berkaitan erat. Artinya bahwa “das” Sollen”
itu menjelma menjadi das “sein”, yang ideal harus menjadi real yang normatif
harus direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari yang merupakan fakta. Nilai
bagi manusia dipakai dan diperlukan untuk menjadi landasan alasan, motivasi
dalam segala sikap, tingkah laku dan perbuatanya. Hal itu terlepas dari
kenyataan bahwa orang ada orang yang dengan sengaja dan sadar melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan kesadaran akan nilai yang diketahuinya dan diyakini.
Macam-Macam Nilai
Sebagai mana dijelaskan diatas bahwa nilai itu tersembunyi
di balik kenyataan lain. Implikasinya adalah bahwa sebenarnya
segala sesuatu itu bernilai atau mengandung nilai, hanya saja derajat nilai itu
positif atau negatif. Walter G. Everet menggolongkan nilai-nilai
manusiawi menjadi delapan kelompok, yaitu:
·
Nilai-nilai ekonomis
(ditunjukan oleh harga pasar dan
meliputi semua benda yang dapat dibeli). Misalnya: emas
atau logam mulia mempunyai nilai ekonomis
dari pada seng, kemanfaatan, kedayagunaan.
·
NIlai-nilai kerjasama (mengacu pada kesehatan, efisiensi dan
keindahan badan) Misalnya: kebugaran, kesehatan, kemulusan tubuh, kebersihan.
·
Nilai-nilai hiburan (nilai-nilai permainan dan waktu senggang
yang dapat menyumbang pada penggayaan hidup). Misalnya kenikmatan rekreasi,
keharmonian musik, keselarasan nada.
·
Nilai-nilai sosial
(berasal mula dari pembagian bentuk perserikatan manusia). Misalnya: kerukunan,
persahabatan, persaudaraan, kesejahteraan, keadilan, kerakyatan, persatuan.
·
Nilai-nilai watak (keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan
sosial yang diinginkan). Misalnya: kejujuran, kesederhanaan, kesetiaan.
·
Nilai-nilai estesis
(nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni). Misalnya: keindahan,
keselaraan, keseimbangan, keserasian.
·
Nilai-nilai intelektual
(nilai-nilai pengetahuan dan pengejaran
kebenaran). Misalnya: kecerdasan, ketekunan, kebenaran,
kepastian.
·
Nilai-nilai keagamaan
(Nilai-nilai yang ada dalam agama). Misalnya : kesucian,
keagungan Tuhan, keesaan Tuhan, keibadahan.
Notonagoro dalam
Kaelan (2001) membagi nilai menjadi tiga, yaitu:
·
Nilai material, yaitu
segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia.
Misalnya: kebutuhan makan, minum, sandang, papan, kesehatan,dll.
·
Nilai vital yaitu
segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan atau aktivitas.
Misalnya: semangat, kemauan, kerja keras, ketekunan, dll.
·
Nilai kerohanian, yaitu
segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian dapat
dibedakan menjadi empat:
o Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (rasio, budi,
cipta manusia)
o Nilai keindahan (nilai estetis) yang bersumber pada
perasaan.
o Nilai kebaikan (nilai maral) yang bersumber kehendak manusia
(will, wollen, karsa manusia).
o Nilai religius yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan
mutlak. Nilai ini bersumber pada kepercayaan dan keyakinan manusia.
Kesemua nilai diatas tersebut bersifat
abstrak, karena itu agar dapat
diterapkan dan dijadikan pedoman dalam
kehudupan nyata maka nilai harus dijabarkan ke dalam norma-norma yang sifatnya
lebih konkret dan jelas sebagai pedoman. Ada berbagai norma yaitu agam, moral,
sosial-kultural. dari norma dapat dijabarkan dalam hukum misalnya: hukum agama,
hukum moral, tradisi, etika, hukum positif.Apabila perbuatan manusia tidak
sesuai dengan norma atau hukum maka akan dikenakan sanksi.
Dalam kehudupan bernegara, maka pancasila sebagai dasar
negara dan asa kerohanian negara merupakan nilai dasar. Nilai
ini dijabarkan lebih lanjut dalam nilai instrumental, yaitu berupa UUD’45
sebagai hukum dasar tertulis yang berisi
norma-norma sebagai para meter dalam mengatur penyelengaraan negara. Nilai
instrumental ini dijabarkan dalam nilai praksis, yang berujud Undang-Undang
yang menyangkut bidang kehidupan bernegara.
Sistem
Nilai dalam Pancasila
Sistem
secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu rangkaian yang saling berkaitan
antara nilai yang satu dengan yang lain. Sistem nilai adalah konsep atau
gagasan yang menyeluruh mengenai apa yang hidup dalam pikiran seseorang atau
sebagian besar anggota masyarakat tentang apa yang dipandang baik, berharga,
dan penting dalam hidup. Sistem nilai berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada
kehidupan masyarakat tersebut. Pancasila sebagai nilai mengandung serangkaian
nilai, yaitu: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, keadilan.
Kualitas
nilai Pancasila bersifat objektif dan subjektif. Nilai-nilai dasar pancasila
bersifat universal objektif artinya nilai-nilai tersebut dapat dipakai dan
diakui oleh negara-negara lain walaupun tentunya tidak diberi nama pancasila.
Kaelan (2001:182) mengatakan bahwa nilai-nilai Pancasila bersifat objektif
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Rumusan
dari sila-sila pancasila itu sebenarnya hakikat dan maknanya yang terdalam
menunjukan adanya sifat-sifat yang umum
universal dan abstrak, karena pada hakikatnya Pancasila adalah nilai.
2. Inti
nilai-nilai Pancasila berlaku tidak terikat oleh ruang, artinya keberlakuannya
sejak jaman dahulu, masa kini, dan juga untuk masa yang akan datang untuk
bangsa Indonesia dan boleh jadi untuk negara lain yang secara eksplisit tampak
dalam adat-istiadat, kebudayaan, tata hidup kenegaraan dan tata hidup beragama.
3. Pancasila
yang terkandung dalam pumbukaan UUD 1945, menurut ilmu hukum memenuhi syarat
sebagai pokok kaidah negara yang fundamental, sehingga merupakan suatu sumber
hukum positif di Indonesia.
Pancasila
bersifat subjektif artinya nilai-nilai Pancasila itu terlekat pada masyarakat,
bangsa, dan negara Indonesia. Darmodihardjo (1996) mengatakan bahwa:
1. Nilai
Pancasila timbul dari bangsa Indonesia sendiri , sehingga bangsa Indonesia
sebagai kausa materialis. Nilai-nilai tersebut sebagai hasil pemikiran,
penilaian, dan refleksi filosofis bangsa Indonesia.
2. Nilai-nilai
Pancasila merupakan filsafat (pandangan hidup) bangsa Indonesia, sehingga
menjadi jati diri bangsa yang diyakini
sebagai sumber nilai atas kebenaran, kebaikan, keadilan, dan kebijaksanaan
dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
3. Nilai-nilai
Pancasila sesungguhnya merupakan
nilai-nilai yang sesuai dengan hati nurani bangsa Indonesia karena bersumber
pada kepribadian bangsa.
Walaupun Pancasila merupakan falsafah hidup, tetapi
negara sebagai institusi yang mempunyai dua tugas utama, yaitu pertama,
melindungi segenap dan seluruh warga negara, salah satu kewenangan negara dalam
hal ini adalah membuat aturan hukum. Kedua, membuat atau
menciptakan kesejahteraan sosial tidak berhak membuat standar moral.
Makna Sila-sila Pancasila
Pengkajian
Pancasila secara filosofis
dimaksudkan untuk mencapai hakikat atau makna terdalam dari sila-sila
Pancasila. Dengan analisis makna Pancasila diharapkan akan diperoleh makna yang
akurat dan mempunyai nilai filosofis.
1. Arti dan Makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa
·
Pengakuan adanya kausa prima (sebab
pertama), yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
·
Menjamin penduduk untuk memeluk agama
masing-masing dan beribadah menurut agamanya.
·
Tidak memaksa warga negara untuk
beragama, tetapi diwajibkan untuk memeluk agama sesuai keyakinan yang berlaku.
·
Atheisme dilarang hidup dan berkembang
di Indonesia.
·
Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya
kehidupan beragama, toleransi antar umat dan dalam beragama.
·
Negara memberi fasilitator bagi tumbuh
kembangnya agama dan iman warga negara dan menjadi mediator ketika terjadi
konflik antar agama.
Manusia
sebagai makhluk yang ada didunia ini seperti halnya makhluk lain diciptakan
oleh penciptanya. Pencipta itu adalah Causa
Prima yang mempunyai hubungan dengan diciptakannya. Jika ditilik secara
historis, pemahaman kekuatan di luar diri manusia dan di luar alam yang ada ini
atau adanya sesuatu yang bersifat adikodrati (di atas atau di luar yang
kodrat), dan transenden (yang mengatasi segala sesuatu), sudah dipahami manusia
sejak dahulu. Sejak zaman nenek moyang sudah dikenal paham animisme, dinamisme,
sampai paham politheisme. Kekuatan ini terus saja berkembang di dunia sampai
masuknya agama Hindu, Budha, Islam, dan Nasrani ke Indonesia sehingga
kesadaraan akan monotheisme di masyarakat Indonesia semakin kuat. Oleh karena
itu tepatlah jika rumusan pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.
Arti
dan Makna Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Pokok-pokok pikiran
dari sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab:
·
Menempatkan
manusia sesuai dengan hakikatnya sebaagai mahluk Tuhan.
Maksudnya, kemanusiaan itu mempunyai sifat yang universal
·
Menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai
hak segala bangsa. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab mengandung prinsip
menolak atau menjauhi rasialisme atau sesuatu yang bersumber pada ras.
·
Mewujudkan keadilan peradaban yang tidak
lemah. Prinsip keadilan dikaitkan dengan hukum, karena keadilan harus
direalisasikan dalam kehidupan masyarakat.
Manusia
ditempatkan sesuai dengan harkatnya. Hal ini berarti menusia mempunyai derajat
yang sama di depan hukum. Sejalan dengan sifat universal bahwa kemanusiaan itu
dimilki oleh semua bangsa, maka hal itu pun
juga kita terapkan dalam kehidupan bangsa Indonesia.
3. Arti
dan Makna sila Persatuan Indonesia
Pokok-pokok
pikiran yang ada di dalamnya antara lain:
·
Nasionalisme
·
Cinta bangsa dan tanah air
·
Menggalang persatuan dan kesatuan bangsa
·
Menghilangkan penonjolan kekuatan atau
kekuasaan, keturunan, dan perbedaan warna kulit.
·
Menumbuhkan perasaan senasib dan
seperjuangan.
Makna
persatuan hakikatnya adalah satu, yang artinya bulat tidak terpecah. Jika
persatuan Indonesia dikaitkan dengan pengertian modern saat ini, maka disebut
nasionalisme. Nasionalisme adalah perasaan satu sebagai sebuah bangsa, satu
dengan seluruh warga yang ada dalam masyarakat.
4.
Arti
dan Makna Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
Beberapa pokok
pikiran yang perlu dipahami antara lain:
·
Hakikat
sila ini adalah demokrasi.
·
Permusyawaratan
artinya mengusahakan putusan bersama secara bulat, baru sesudah itu diadakan
tindakan bersama.
·
Dalam
melaksanakan keputusan diperlukan kejujuran bersama.
·
Perbedaan
secara umumdemokrasi di barat dan di Indonesia yaitu terletak pada
permusyawaratan.
5.
Arti
dan Makna Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
·
Kemakmuran
yang merata bagi seluruh rakyat dalam
arti dinamis dan meningkat.
·
Seluruh
kekayaan alam dan sebagainya dipergunakan bagi kebahagiaan bersama menurut
potensi masing-masing.
·
Melindungi
yang lemah agar kelompok warga masyarakat dapat bekerja sesuai dengan
bidangnya.
Kemakmuran
yang merata bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat. Dinamis dalam
arti diupayakan lebih tinggi dan lebih baik. Hal ini berarti peningkatan
kesejahteraan dan kemakmuran yang lebih baik. Seluruh kekayaan alam tidak
dikuasai oleh sekelompok orang tetapi harus untuk kesejahteraan semua orang.
WACANA AKHIR
Nilai yang masih bersifat abstrak dapat
disebut dengan nilai dasar, karena nilai ini berada dalam pemikiran manusia.
Nilai dasar ini kemudian dijabarkan menjadi lebih konkret tetapi masih
berbentuk norma-norma. Nilai tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam
nilai praksis, yang sifatnya sangat konkret berkaitan suatu bidang dalam
kehidupan. Rumusan nilai praksis adalah sangat konkret, jelas menunjukan pada
situasi yang kontektual, sehingga rumusan nilai praksis ini dapat diubah dengan
mudah disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.
Diterimanya pancasila sebagai
dasar negara dan ideologi nasional membawa
konsekuensi logis bahwa nilai-nilai pancasila dijadikan landasan pokok, landasan
fundamental bagi penyelenggaraan negara Indonesia. Pancasila berisi lima sila
yang pada hakikatnya berisi lima nilai dasar yang fundamental. Nilai-nilai dasar
dari pancasila tersebut adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Nilai Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalan permusyawaratan/perwakilan, dan nilai Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Dengan pernyataan secara singkat bahwa
nilai dasar Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai
persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.
konsekuensi logis bahwa nilai-nilai pancasila dijadikan landasan pokok, landasan
fundamental bagi penyelenggaraan negara Indonesia. Pancasila berisi lima sila
yang pada hakikatnya berisi lima nilai dasar yang fundamental. Nilai-nilai dasar
dari pancasila tersebut adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Nilai Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalan permusyawaratan/perwakilan, dan nilai Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Dengan pernyataan secara singkat bahwa
nilai dasar Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai
persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Kaelan. 2001. Pendidikan Pancasila. Jogjakarta: Penerbit Paradigma.
Notonagoro. 1973. Filsafat Pendidikan Nasional Pancasila, FIP IKIP
YOGYAKARTA
.
1967. Pancasila Dasar Filsafat Negara RI. Yogyakarta: UGM.
Pranarka,
AMW. 1985. Sejarah Pemikiran Pancasila. Jakarta: CSIS.
Rukiyati. 2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta : UNY
Press
0 komentar:
Posting Komentar